Kamis, 31 Januari 2013


Tugas :

ETIKA PEMERINTAHAN
( nilai-nilai etika pemerintahan dalam pelayanan publik )
OLEH
ARIFIN
21008010
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2013
Etika Publik
Pemahaman tentang etika (ethics) menurut Glossary dari Management (Schoderbeck, 1988:652) adalah “an established set of principles held by individuals and/or groups that pertains to what behavior is good or bad, right or wrong”. Sejalan dengan pengertian ini Jeff Cartwright dalam Cultural Transformation (1999) menyatakan bahwa “ethics are ‘values in contex’ and are a system of values and principles by which human intention and behaviour (outcomes) may be judged good or bad (desirable or undesirable)”. Sementara itu Kementrian PAN-RI memberikan definisi etika sebagai ‘nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, tindakan ataupun ucapannya’ (2006:43).
Dengan demikian pengertian tentang etika dalam diskursus tentang administrasi publik dapat diketahui dari dua sudut pandang yaitu sebagai filsafat dan “profesional standards” atau moral atau sesuatu aturan yang menetapkan perilaku yang benar dan harus dijadikan sebagai pijakan dalam budaya kerja para administrator publik.
Pandangan berikutnya adalah etika sebagai substansi yang harus dipenuhi manakala para pejabat administrasi membuat keputusan atau kebijakan publik dan secara normatif memberi arah bagi terwujudnya keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berpemerintahan dan bernegara. Dalam hubungan ini  substansi dari sebuah kebijakan publik atau keputusan pejabat administrasi harus memenuhi enam pemikiran besar (six great ideas) menurut Denhardt (Yeremias,2008: 168) yang meliputi nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty),kesamaan (equality), dan keadilan (justice).
Dalam praktik menjalankan pemerintahan, etika telah diformulasi dengan pengertian prinsip, asas, atau kriteria namun tetap pada intinya merujuk pada profesional standards yang baku. Tengok saja dalam Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan negara yang bebas KKN, etika atau asas-asas yang ideal seperti dalam konsepsi mewujudkan Good Governance versi UNDP, World Bank maupun dalam Undang-undang No.25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;  etika yang ditetapkan oleh administrasi publik dalam Undang-undang ini sangat rinci yaitu kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesionalisme, partisipasi, persamaan perlakuan, keterbukaan, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, tepat waktu dan cepat, mudah serta terjangkau. Kesemua asas-asas dimaksud sebagai norma ideal yang ditujukan bagi kebaikan dan kepuasan masyarakat. Itulah kewajiban bagi para pejabat administrasi maupun abdi publik lainnya untuk mewujudkannya dalam pelaksanaan tugasnya .
Nilai-nilai Etika Pemerintahan
Dalam menjalankan kegiatan pemerintahan kendatipun telah ditetapkan etika yang harus dipatuhi oleh jajaran penyelenggara administrasi publik bahkan masih diperkuat dengan pengucapan sumpah jabatan para pejabat publik dan jajarannya, namun implementasinya masih belum signifikan mendapat apresiasi publik. Beragam kasus korupsi di berbagai ruang kehidupan bernegara dan berpemerintahan  menunjukkan kurangnya komitmen pejabat publik pada etika yang harus dibangun dan dipelihara sebagai budaya kerja telah memberikan indikasi bahwa etika administrasi publik masih sebatas  ‘just on the book’ yang hanya perlu dijunjung tinggi dan belum sepenuhnya diterjemahkan di dalam kehidupan berpemerintahan dan bernegara.
Contoh berikutnya, tingkat kepatuhan warga pada etika yang pernah dibangun sebagai fondasi karena tercermin dalam ideologi bangsa atau filosofi bangsa (dulu dikenal dengan 36 butir nilai dari sila-sila dalam Pancasila) dikhawatirkan mengalami proses marjinalisasi  karena tidak dijalankan dengan sebuah sistem yang mampu mengefektifkan implementasinya dalam kehidupan keseharian. Sesungguhnya pembentukan sistem yang membuka peluang bagi efektifnya implementasi etika administrasi publik dapat dilakukan melalui  beragam pendekatan, baik secara legal (melalui peraturan dengan sanksi yang konkrit, tegas dan lugas) maupun pemodelan (leadership yang bermoral), atau melalui pemulihan pembudayaan nilai-nilai moralitas dalam kehidupan keluarga (pendidikan kesejahteraan keluarga). Pendekatan terakhir perlu dilakukan mengingat “ethics are a specification of moral judgement that set standards of morality, behaviour and moral responsibility, the organization and the society that has no prescribed system of values is by definition without ethics” (Cartwright, 1999:126).

Budaya kerja administrator publik.
Mochtar Lubis mengungkapkan di dalam publikasi lamanya ‘Budaya, masyarakat dan manusia Indonesia’ (1992) bahwa jika kebudayaan dirumuskan sebagai segala apa yang dipikirkan dan dilakukan manusia, maka seni merupakan unsur yang amat penting yang memberi wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, irama, harmoni, proporsi dan sublimasi pengalaman manusia pada kebudayaan. Rumusan kebudayaan tersebut memberikan gambaran standard tentang nilai-nilai yang normatif dan universal yang sebenarnya harus ditampilkan oleh seni kehidupan setiap insan sebagai mahluk sosial yang berintikan toleransi, disiplin dan integritas.
Budaya kerja yang dibangun dalam institusi publik menurut konsepsi dari Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara adalah merupakan serangkaian prinsip-prinsip yang diyakini dan benar dalam mencapai tujuan negara (Kem PAN,2006:44), dan budaya kerja menjadi landasan bagi setiap kebijakan dan aturan, serta mengarahkan perilaku individu dalam suatu negara; prinsip-prinsip ini dikenal sebagai nilai-nilai dan keyakinan. Nilai-nilai budaya kerja yang harus ada dalam pemerintahan adalah kepercayaan publik, integritas penyelenggara negara, pelayanan publik, serta profesionalisme, yang kesemuanya dijalankan sebagai praktik birokrasi publik yang beretika. Bila ditelusuri lebih lanjut tentang praktik etika pemerintahan untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut  Steinberg dan Austern (1998: 129) merujuknya pada empat pokok praktik etika pemerintahan yang harus dilakukan oleh pihak pimpinan (managers) yaitu pelatihan (dilakukan secara terus menerus), pengauditan manajemen (dilakukan pemeriksaan kinerja pelaksanaan etika), penyelidikan (dilakukan pemantauan pelaksanaan etika)  dan pengendalian manajemen (pengawasan pelaksanaan etika).
Namun sebagaimana dalam implementasinya, kerap terjadi etika yang terbangun  di lingkungan birokrasi publik mengalami distorsi oleh para administrator publik di dalam menjalankan perannya sebagai abdi masyarakat.
 Beragam media masa memberikan rating pendapat dengan penilaian yang masih belum memuaskan untuk semua bidang pelayanan publik. Kinerja administrator publik masih belum mampu untuk bekerja dengan bertumpu pada etik pelayanan publiknya yang asas-asasnya telah dikemukakan dalam Undang-undang No.25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Adanya distorsi tersebut sejalan dengan ungkapan Steinberg dan Austern bahwa perilaku etis selalu berhubungan dengan budaya kerja dan “perilaku tersebut mencerminkan konsensus standar perilaku yang dapat diterima, kewajiban sosial, dan tugas-tugas, dan perilaku ini juga berkaitan dengan perkembangan jaman” (Steiberg, 1998:129). Artinya yang mempengaruhi kualitas etika publik akan sangat tergantung oleh  perkembangan waktu, ruang (locus) dan materinya atau subyeknya (content). Atau bersifat situasional.


Menegakkan etika publik dalam republik.
Landasan etis
Dalam kasus Indonesia, pedoman hidup yang berlaku dalam negara adalah ideologi bangsa yang memberikan esensi berupa rujukan bermasyarakat melalui nilai-nilai budaya kebersamaan, kekeluargaan dan gotong royong. Nilai-nilai inilah yang ‘diajarkan’ oleh Pancasila agar dalam peri kehidupan bermasyarakat, setiap individu sebagai bagian komunitas bangsa harus menerjemahkan ke dalam tata cara kehidupannya sehingga memiliki kejelasan standard nilai yang berlaku di semua bagian wilayah negara.
Kemudian adat kebiasaan atau adat istiadat juga memberikan gambaran betapa masyarakat pedesaan (domestik) di banyak bagian wilayah republik ini masih memegang ketat emosi kekeluargaan (gemainchaft) yang memberikan akses musyawarah untuk mencapai mufakat di dalam setiap pembuatan keputusan publik untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang berlangsung di lingkungannya. Suatu gambaran nilai yang sebenarnya beralasan untuk dipertahankan dalam membina wawasan kebangsaan bahwa musyawarah merupakan jalan yang paling dekat dengan keberadaan nilai kearifan (wisdom) ketimbang nilai pemungutan suara (budaya ‘voting’) dalam mengambil sesuatu keputusan untuk kepentingan kehidupan bersama.
Landasan etis yang juga berlaku universal adalah filosofis yaitu nilai yang dikembangkan di dalam setiap pengambilan keputusan kebijakan publik  harus bersandar pada kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Mengingat kebijakan publik adalah harus diberlakukan dengan ukuran publik (aspirasi dan amanah) sehingga sebuah keputusan pejabat publik harus memiliki nilai kebijakan (wisdom) bagi publik, dan bukan semata-mata memiliki misi untuk kepentingan kelompok penguasa (tanggung jawab politik).
Landasan etis yang paling hakiki dalam konteks keyakinan tentu berangkat dari nilai yang diangkat oleh agama; agama sebagai bentuk tumpuan keimanan dan ketakwaan telah memberikan arahan kepada para pengikutnya/penganutnya agar menjadi insan yang sempurna  yaitu yang bermoral dan berperilaku yang berkenan di lingkungan kehidupannya sehingga mampu menjadi manusia yang bernilai yaitu manusia yang ilmu dan hartanya bermanfaat bagi umat dan kehadiran dirinya dibutuhkan bagi manusia-manusia lainnya.  Terdapat perbedaan yang signifikan antara birokrat yang beragama dengan yang tidak beragama, atau beragama sekedar simbol; “pekerja yang beragama menjadikan agamanya sebagai bimbingan dan pedoman dalam bekerja sehingga dia terbebaskan dari apa yang disebut ‘al-ghayah tubarriru al –washilah’ (tujuan menghalalkan segala cara)” (Luth, 2001: 29).
Keberpihakan pada Publik
Kehidupan individu di lingkungan birokrasi publik seyogyanya tidak berbeda dengan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat, artinya tuntutan nilai-nilai moralitas yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat serta kehidupan berpemerintahan harus berjalan dengan konsisten (good governance). Tidak perlu seorang individu yang memiliki posisi di birokrasi publik lalu serta merta harus berperan ambivalen yaitu memiliki double standards dalam sikap dan perilakunya (moral) yang berbeda, disatu sisi sebagai manusia yang alim dengan menunjukkan dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai insan yang pura-pura taat beribadah tapi di sisi yang lain sebagai koruptor yang ganas dan merampas uang negara yang pengelolaannya dipercayakan padanya.
Sebenarnya dalam konsepsi dan etik yang terbangun secara kelembagaan pegawai negeri (PNS, TNI, dan POLRI) dan menjadi komoditas yang tertuang dalam sumpah pegawai negeri adalah abdi masyarakat!. Itulah standar etika yang baku bagi komunitas birokrasi publik yaitu di dalam menjalankan seluruh kewajibannya yang direfleksikan melalui pelayanan publik harus benar-benar berlaku sebagai abdi masyarakat atau berpihak pada publik, bukan berpihak pada koceknya. Kesadaran posisi sebagai abdi masyarakat (pelayan masyarakat) bagi para administrator publik harus dipulihkan dengan cara-cara yang memadai sehingga mampu mereduksi jumlah para pelaku tindak pidana korupsi secara bertahap tetapi ada kepastian!.
Implementasi lainnya adalah bagaimana agar birokrasi publik mampu menjadikan dirinya sebagai pihak yang netral (netralitas birokrasi) dan tidak dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh lingkungan politisi yang dipastikan akan mengganggu dalam proses pelayanan publik. Bagaimana mungkin seorang pegawai negeri akan netral bilamana aturan mainnya dibuat masih mengandung multitafsir. Tengok saja UU no.43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang menuntut para “pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat” (pasal 3 ayat (2)). Dan “untuk menjamin netralitas, pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai” (pasal 3 ayat (3)). Namun bagaimana bisa netral bila pegawai negeri masih harus masuk bilik suara di dalam setiap pelaksanaan pemilu? Setidaknya di sini ada ketidaknetralan secara emosional, dan hal ini akan sangat mempengaruhi  pelayanan publik atau dengan bahasa lain bagaimana mungkin bisa berpihak pada masyarakat bila pegawai negeri ‘masih’ berpartai?. Karena di dalam praktiknya sulit  rasanya  berlaku netral dengan mengesampingkan kepentingan kelompok partai penguasa dari kepentingan masyarakat luas yang sangat heterogen paham politiknya; sebagaimana diungkapkan pula oleh hasil penelitian bahwa satu diantara faktor yang memengaruhi netralitas birokrasi adalah “peraturan perundang-undangan yang justru merancukan batasan antara domain politik dan administrasi yang mengakibatkan politisasi birokrasi” (abstraksi ‘netralitas birokrasi’,2003:iii).
‘Doktrin’ berikutnya yang tidak kalah penting adalah tentang kesetiaan birokrat dalam birokrasi publik pada masyarakat (publik) ternyata masih dipertaruhkan, betapa tidak, karena dilema antara kesetiaan (loyalty) kepada tugas pokoknya yang berhubungan dengan pelayanan publik terkadang harus tergeser oleh ‘kesetiaan’ pada kepentingan atasan/partai pengusa. Masalah kesetiaan (kepada publik) inilah yang masih sulit diwujudkan di kalangan para pegawai negeri khususnya mereka yang memiliki posisi sebagai unsur pimpinan mengingat di dalam konstelasi organisasinya jelas menunjukkan bahwa administrasi diposisikan sebagai pelaksana kebijakan publik sedangkan ranah politik bertugas untuk membuat keputusan politik berupa kebijakan publik. Dilema dalam memilih yang terbaik antara keberpihakan pada publik dengan kesetiaan pada partai penguasa telah diperlihatkan dalam rejim Soeharto dimana partai penguasa telah mampu bertahan dalam tiga dekade karena menerapkan sistem ‘kesetiaan’ dengan doktrin “mono loyalitas’ kepada partai penguasa. Sikap mental yang telah terbangun inilah yang meragukan kita, apakah birokrasi masa kini (rejim SBY) dapat memberi jaminan bahwa mereka akan selalu berpihak pada publik, sementara aroma nepotisme, kolusi dan korupsi masih saja marak terjadi di berbagai birokrasi pemerintahan. Disisi lain sebagian besar aparat masih memilih sikap  ‘safety players’, dan sangat langka aparatur pemerintah yang masuk hitungan ‘risk takers’ untuk berani membongkar/melaporkan perbuatan korupsi sebagai pelanggaran etika publik dilingkungan instansinya.
Dikotomi kepentingan publik dan privat di lingkungan birokrasi publik.
Sebuah dilema dipastikan akan menghinggapi sikap dan perilaku para ‘abdi masyarakat’ masa kini bilamana sistem untuk membangun kearah keberpihakan pada masyarakat (publik) tidak memiliki keajegan dalam aspek legalitas.
Suatu penelitian yang menarik yang dilakukan oleh JICA dalam mencermati kualitas pelayanan publik di beberapa kota terpilih ternyata menunjukkan masih didapati adanya pengaruh budaya patrimonial, feodalisme dan ketidaknetralan birokrasi; pengaruh budaya patrimonial jelas menunjukkan bahwa kalangan birokrat masih menyulitkan dirinya untuk mengenali antara mana ranah publik dan ranah privat. Contoh konkrit adalah masih berlangsungnya praktik gratifikasi pada pasca pelayanan (uang tanda terima kasih, uang rokok, uang administrasi dsb) terhadap para pemberi jasa layanan publik dalam berbagai permohonan perijinan; juga dilingkungan dunia pendidikan yang masih ditunjukkan dengan pemberian ‘hadiah’ dari orang tua murid/siswa kepada para guru yang telah ‘berjasa’ mendidik anak-anak didiknya. Demikian halnya di lingkungan pimpinan birokrasi publik, masih terdapat mereka yang menerima upeti dari bawahannya dengan motivasi yang beragam semisal karena bawahan ingin dipromosikan, bawahan ingin dipindahkan ke unit kerja lain yang disukainya, atau bawahan yang ingin mendapat fasilitas tertentu dan semacamnya; “seseorang ‘yang dipertuan’ yang menerima upeti dari bawahan dan menggunakannya untuk pribadi secara tradisional, tidak melakukan korupsi menurut ukuran tradisional”...sebab justru dalam keadaan dimana tidak ada pemisahan kepentingan keuangan pribadi dan negara dari seorang pejabat atau penguasa, menyebabkan timbulnya konsepsi-konsepsi anti korupsi dan harus adanya pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan publik” (Onghokham dalam Lubis, 1985:117).
Praktik patrimonial yang dicontohkan dimuka nampaknya tidak dipungkiri memang masih mengemuka di lingkungan birokrasi Pemerintahan, terutama di Daerah-daerah atau yang jauh dari pantauan Penegak hukum.


Rekomendasi
Penegakkan Etika publik dalam republik menurut budaya organisasi yang masih tradisional dan memungkinkan adalah dimulai dari lingkungan birokrasi sendiri ; sistem nilai yang perlu dijunjung tinggi oleh birokrasi publik adalah perlunya menghargai secara proporsional terhadap pentingnya persamaan, keadilan,  efisiensi, transparansi dan akuntabilitas serta mengutamakan kepuasan publik.
Birokrasi publik sudah seharusnya memberi prioritas pada ‘akses’ generasi baru di birokrasi yang memiliki pengalaman dan pendidikan yang kini ‘dibesarkan’ di era reformasi ini dengan memberi tempat bagi kreativitas dan inovasi serta perubahan mind set dalam pemberian layanan publik. Pembaharuan nampaknya sulit dilakukan oleh komponen diluar birokrasi mengingat belenggu kekuasaan politisasi birokrasi oleh kekuatan partai penguasa sepanjang sejarah penyelenggaraan pemerintahan sangat mendominasi di Republik ini, kecuali melalui people power yang sangat beresiko karena dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara (vide kasus Tunisia, Sudan, Mesir dan Aljazair ?).




Beberapa pertimbangan teknis yang perlu dilakukan diantaranya:
Institusi pelayanan publik
  1. Sudah saatnya pejabat publik beroreintasi pada pelaksanaan jasa layanan publik yang memuaskan (customer satisfaction) dan bukan untuk memuaskan para atasannya/pemutus kebijakan semisal para Menteri, para Gubernur, Bupati dan Walikota (political appointees) hanya karena alasan para atasan inilah yang telah menunjuk dan mengangkat dirinya sebagai pejabat.
  2. Sudah saatnya jabatan publik di pemerintahan pusat seperti Kementrian dan Lembaga Pemerintah Non Departemen memertimbangkan untuk dipimpin oleh para profesional ketimbang para politisi yang hanya akan melahirkan konflik kepentingan, yaitu antara tugas layanan publik dengan loyalitas pada partainya.
  3. Seleksi pimpinan birokrasi publik, terutama di Daerah-daerah harus berbasis kompetensi dengan  mempertimbangkan syarat kompetensi jabatan melalui fit and proper test lembaga jasa independen; bilamana tidak terdapat potensi SDM aparatur yang memenuhi syarat jabatan, hendaknya tidak menutup peluang bagi masuknya kalangan profesional dengan sistem kontrak karya.
  4. Institusi palayanan publik harus memiliki sasaran mutu manajemen sebagai jaminan bagi publik bahwa institusi punya semangat penetapan standar kinerja pelayanan publik yang terukur (ISO 9001:2000, ISO 9001:2008 dst)
  5. Lembaga asessor yang memantau kinerja lembaga layanan publik perlu dibentuk yang attached pada institusi publik yang bersangkutan; hal ini untuk mengembalikan pencitraan kepercayaan publik pada institusi pemberi jasa layanan publik yang masih memprihatinkan.
Institusi sektor privat
  1. ‘Persaingan’ dengan institusi layanan publik harus terus diperlihatkan oleh sektor privat dalam pemberian jasa layanan ‘publik’ yang bertujuan menyenangkan/memuaskan pelanggan sebagai bagian untuk memotivasi mitranya di lingkungan institusi publik agar kreatif, penuh inovasi dan tidak diperbudak oleh aturan yang kaku di dalam memberikan layanan publiknya.
  2. Sektor privat mampu memberikan pembelajaran bagi sektor publik dalam menghargai para karyawan dengan menerapkan reward and punisment yang konsisten mengingat disektor publik masih sangat langka diberikannya penghargaan bagi yang berprestasi dan bagi yang kreatif, demikian halnya bagi yang berkinerja buruk pun tidak memeroleh punishment yang memadai.
  3. Sektor privat seyogyanya tidak melakukan pembiaran akan tetapi mampu mengembangkan pengawasan publik secara intensif kepada instansi publik melalui forum publik; saran ini berangkat dari pertimbangan karena kelompok inilah yang paling dekat dengan jasa layanan untuk berbagai macam perijinan dan perpajakan.
Lembaga swadaya kemasyarakatan
  1. Keterlibatan perwakilan masyarakat di dalam memantau implementasi etika publik terhadap seluruh bentuk layanan jasa dan barang publik dapat dimintakan ke institusi publiknya untuk dibuka melalui ruang publik seperti dilakukannya ‘talk shows’ melalui media yang tersedia atau ‘open house’ secara berkala oleh para Kepala Daerah sebagai jalan yang efektif dibandingkan dengan berdemo yang hanya akan mengganggu kelancaran pengguna jalan.
  2. Keterlibatan perwakilan masyarakat didalam setiap perumusan kebijakan perencanaan pembangunan (Musrenbang) perlu memiliki  proporsi yang signifikan, agar setiap keputusan/kebijakan publik atau kegiatan pemerintahan memiliki kesungguhan  berpihak pada masyarakat dan bukan seperti selama ini lebih menonjolkan keberpihakan pada aparatur.
  3. Peranan LSM pemerhati pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, politik, lingkungan, keuangan, korupsi dsb) seyogyanya memperkaya kekuatan SDMnya dengan kualifikasi kepakaran sesuai disiplin bidang tugasnya; hal ini dalam rangka mempertajam fungsi pengendalian dan pengawasan pada sektor publik (sebagai bentuk check and balances).

Kesimpulan
Menegakkan etika publik dalam kebijakan publik sejatinya dapat dilakukan dengan mudah oleh institusi publik seandainya mereka mau ‘belajar’ dari sektor privat yang relatif mampu melakukannya (layanan jasa/barang) dengan berstandar karena mengedepankan standar etika kesenangan atau kepuasan pelanggan (publik).
Kebijakan publik yang berhubungan pelayanan publik seperti untuk perijinan, permohonan akta, dan layanan administrasi kependudukan sudah saatnya didesentralisasikan (dipencarkan) kepada satuan unit kerja yang berhadapan  langsung dengan masyarakat ditingkat grass roots sehingga etika publik tentang mudah, murah, cepat, dan terjangkau tidak hanya merupakan bahasa basa-basi.
Jabatan publik di birokrasi publik harus berbasis kompetensi yang dilakukan melalui uji kompetensi (fit and proper test) oleh lembaga jasa independen serta tidak menutup diri terhadap kemungkinan masuknya kalangan profesional yang dipastikan memiliki keunggulan kinerja dalam jabatan publik dengan sistem kontrak karya. Etika publik berupa kepastian standar kualitas SDM aparatur harus dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan publik.
Birokrasi publik seyogyanya tidak asyik sendiri disibukkan dengan penataan struktur organisasi publik yang tambun dan inefisien karena hanya alasan mengikuti suatu Peraturan Pemerintah tanpa memerhitungkan kepemilikan sumberdaya yang terbatas; etika publik berupa efisiensi dan efektivitas sudah saatnya menjadi komitmen untuk direalisasikan.

SUMBER REFERENSI :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar