Tugas :
ETIKA PEMERINTAHAN
( nilai-nilai etika pemerintahan dalam
pelayanan publik )
OLEH
ARIFIN
21008010
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2013
Etika Publik
Pemahaman tentang etika (ethics) menurut Glossary
dari Management (Schoderbeck, 1988:652) adalah “an established set of
principles held by individuals and/or groups that pertains to what behavior is
good or bad, right or wrong”. Sejalan dengan pengertian ini Jeff Cartwright
dalam Cultural Transformation (1999) menyatakan bahwa “ethics are
‘values in contex’ and are a system of values and principles by which human
intention and behaviour (outcomes) may be judged good or bad (desirable or
undesirable)”. Sementara itu Kementrian PAN-RI memberikan definisi etika
sebagai ‘nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam
mengatur sikap, tindakan ataupun ucapannya’ (2006:43).
Dengan demikian pengertian tentang etika dalam diskursus
tentang administrasi publik dapat diketahui dari dua sudut pandang yaitu
sebagai filsafat dan “profesional standards” atau moral atau sesuatu aturan
yang menetapkan perilaku yang benar dan harus dijadikan sebagai pijakan dalam
budaya kerja para administrator publik.
Pandangan berikutnya adalah etika sebagai substansi yang
harus dipenuhi manakala para pejabat administrasi membuat keputusan atau
kebijakan publik dan secara normatif memberi arah bagi terwujudnya keteraturan
dan ketertiban dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berpemerintahan dan
bernegara. Dalam hubungan ini substansi dari sebuah kebijakan publik atau
keputusan pejabat administrasi harus memenuhi enam pemikiran besar (six
great ideas) menurut Denhardt (Yeremias,2008: 168) yang meliputi nilai
kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty),
kebebasan (liberty),kesamaan (equality), dan keadilan (justice).
Dalam praktik menjalankan pemerintahan, etika telah
diformulasi dengan pengertian prinsip, asas, atau kriteria namun tetap pada
intinya merujuk pada profesional standards yang baku. Tengok saja dalam
Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan negara yang bebas KKN,
etika atau asas-asas yang ideal seperti dalam konsepsi mewujudkan Good
Governance versi UNDP, World Bank maupun dalam Undang-undang No.25 tahun
2009 tentang Pelayanan Publik; etika yang ditetapkan oleh administrasi
publik dalam Undang-undang ini sangat rinci yaitu kepentingan umum,
kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesionalisme,
partisipasi, persamaan perlakuan, keterbukaan, fasilitas dan perlakuan khusus
bagi kelompok rentan, tepat waktu dan cepat, mudah serta terjangkau.
Kesemua asas-asas dimaksud sebagai norma ideal yang ditujukan bagi kebaikan dan
kepuasan masyarakat. Itulah kewajiban bagi para pejabat administrasi maupun
abdi publik lainnya untuk mewujudkannya dalam pelaksanaan tugasnya .
Nilai-nilai Etika Pemerintahan
Dalam menjalankan kegiatan pemerintahan kendatipun telah
ditetapkan etika yang harus dipatuhi oleh jajaran penyelenggara administrasi publik
bahkan masih diperkuat dengan pengucapan sumpah jabatan para pejabat publik dan
jajarannya, namun implementasinya masih belum signifikan mendapat apresiasi
publik. Beragam kasus korupsi di berbagai ruang kehidupan bernegara dan
berpemerintahan menunjukkan kurangnya komitmen pejabat publik pada etika
yang harus dibangun dan dipelihara sebagai budaya kerja telah memberikan
indikasi bahwa etika administrasi publik masih sebatas ‘just on the
book’ yang hanya perlu dijunjung tinggi dan belum sepenuhnya diterjemahkan
di dalam kehidupan berpemerintahan dan bernegara.
Contoh berikutnya, tingkat kepatuhan warga pada etika yang
pernah dibangun sebagai fondasi karena tercermin dalam ideologi bangsa atau
filosofi bangsa (dulu dikenal dengan 36 butir nilai dari sila-sila dalam
Pancasila) dikhawatirkan mengalami proses marjinalisasi karena tidak
dijalankan dengan sebuah sistem yang mampu mengefektifkan implementasinya dalam
kehidupan keseharian. Sesungguhnya pembentukan sistem yang membuka peluang bagi
efektifnya implementasi etika administrasi publik dapat dilakukan melalui
beragam pendekatan, baik secara legal (melalui peraturan dengan sanksi yang
konkrit, tegas dan lugas) maupun pemodelan (leadership yang bermoral),
atau melalui pemulihan pembudayaan nilai-nilai moralitas dalam kehidupan
keluarga (pendidikan kesejahteraan keluarga). Pendekatan terakhir perlu
dilakukan mengingat “ethics are a specification of moral judgement that set
standards of morality, behaviour and moral responsibility, the organization and
the society that has no prescribed system of values is by definition without
ethics” (Cartwright, 1999:126).
Budaya kerja administrator publik.
Mochtar Lubis mengungkapkan di dalam publikasi lamanya ‘Budaya,
masyarakat dan manusia Indonesia’ (1992) bahwa jika kebudayaan
dirumuskan sebagai segala apa yang dipikirkan dan dilakukan manusia, maka seni
merupakan unsur yang amat penting yang memberi wajah manusiawi, unsur-unsur
keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, irama, harmoni, proporsi dan sublimasi
pengalaman manusia pada kebudayaan. Rumusan kebudayaan tersebut memberikan
gambaran standard tentang nilai-nilai yang normatif dan universal yang
sebenarnya harus ditampilkan oleh seni kehidupan setiap insan sebagai mahluk
sosial yang berintikan toleransi, disiplin dan integritas.
Budaya kerja yang dibangun dalam institusi publik menurut
konsepsi dari Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara adalah merupakan
serangkaian prinsip-prinsip yang diyakini dan benar dalam mencapai tujuan
negara (Kem PAN,2006:44), dan budaya kerja menjadi landasan bagi setiap
kebijakan dan aturan, serta mengarahkan perilaku individu dalam suatu negara;
prinsip-prinsip ini dikenal sebagai nilai-nilai dan keyakinan.
Nilai-nilai budaya kerja yang harus ada dalam pemerintahan adalah kepercayaan
publik, integritas penyelenggara negara, pelayanan publik, serta
profesionalisme, yang kesemuanya dijalankan sebagai praktik birokrasi publik
yang beretika. Bila ditelusuri lebih lanjut tentang praktik etika pemerintahan
untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut Steinberg dan Austern (1998: 129)
merujuknya pada empat pokok praktik etika pemerintahan yang harus dilakukan
oleh pihak pimpinan (managers) yaitu pelatihan (dilakukan secara terus
menerus), pengauditan manajemen (dilakukan pemeriksaan kinerja pelaksanaan
etika), penyelidikan (dilakukan pemantauan pelaksanaan etika) dan
pengendalian manajemen (pengawasan pelaksanaan etika).
Namun sebagaimana dalam implementasinya, kerap terjadi etika
yang terbangun di lingkungan birokrasi publik mengalami distorsi oleh
para administrator publik di dalam menjalankan perannya sebagai abdi
masyarakat.
Beragam media masa
memberikan rating pendapat dengan penilaian yang masih belum memuaskan untuk
semua bidang pelayanan publik. Kinerja administrator publik masih belum mampu
untuk bekerja dengan bertumpu pada etik pelayanan publiknya yang asas-asasnya
telah dikemukakan dalam Undang-undang No.25 tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik.
Adanya distorsi tersebut sejalan dengan ungkapan Steinberg
dan Austern bahwa perilaku etis selalu berhubungan dengan budaya kerja dan
“perilaku tersebut mencerminkan konsensus standar perilaku yang dapat diterima,
kewajiban sosial, dan tugas-tugas, dan perilaku ini juga berkaitan dengan
perkembangan jaman” (Steiberg, 1998:129). Artinya yang mempengaruhi kualitas
etika publik akan sangat tergantung oleh perkembangan waktu, ruang (locus)
dan materinya atau subyeknya (content). Atau bersifat situasional.
Menegakkan etika publik dalam republik.
Landasan etis
Dalam kasus Indonesia, pedoman hidup yang berlaku dalam
negara adalah ideologi bangsa yang memberikan esensi berupa rujukan
bermasyarakat melalui nilai-nilai budaya kebersamaan, kekeluargaan dan gotong
royong. Nilai-nilai inilah yang ‘diajarkan’ oleh Pancasila agar dalam peri kehidupan
bermasyarakat, setiap individu sebagai bagian komunitas bangsa harus
menerjemahkan ke dalam tata cara kehidupannya sehingga memiliki kejelasan
standard nilai yang berlaku di semua bagian wilayah negara.
Kemudian adat kebiasaan atau adat istiadat juga
memberikan gambaran betapa masyarakat pedesaan (domestik) di banyak bagian
wilayah republik ini masih memegang ketat emosi kekeluargaan (gemainchaft)
yang memberikan akses musyawarah untuk mencapai mufakat di dalam setiap
pembuatan keputusan publik untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang
berlangsung di lingkungannya. Suatu gambaran nilai yang sebenarnya beralasan
untuk dipertahankan dalam membina wawasan kebangsaan bahwa musyawarah merupakan
jalan yang paling dekat dengan keberadaan nilai kearifan (wisdom)
ketimbang nilai pemungutan suara (budaya ‘voting’) dalam mengambil sesuatu
keputusan untuk kepentingan kehidupan bersama.
Landasan etis yang juga berlaku universal adalah filosofis
yaitu nilai yang dikembangkan di dalam setiap pengambilan keputusan kebijakan
publik harus bersandar pada kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Mengingat
kebijakan publik adalah harus diberlakukan dengan ukuran publik (aspirasi dan
amanah) sehingga sebuah keputusan pejabat publik harus memiliki nilai kebijakan
(wisdom) bagi publik, dan bukan semata-mata memiliki misi untuk
kepentingan kelompok penguasa (tanggung jawab politik).
Landasan etis yang paling hakiki dalam konteks keyakinan
tentu berangkat dari nilai yang diangkat oleh agama; agama sebagai
bentuk tumpuan keimanan dan ketakwaan telah memberikan arahan kepada para
pengikutnya/penganutnya agar menjadi insan yang sempurna yaitu yang
bermoral dan berperilaku yang berkenan di lingkungan kehidupannya sehingga
mampu menjadi manusia yang bernilai yaitu manusia yang ilmu dan hartanya
bermanfaat bagi umat dan kehadiran dirinya dibutuhkan bagi manusia-manusia
lainnya. Terdapat perbedaan yang signifikan antara birokrat yang beragama
dengan yang tidak beragama, atau beragama sekedar simbol; “pekerja yang
beragama menjadikan agamanya sebagai bimbingan dan pedoman dalam bekerja
sehingga dia terbebaskan dari apa yang disebut ‘al-ghayah tubarriru al
–washilah’ (tujuan menghalalkan segala cara)” (Luth, 2001: 29).
Keberpihakan pada Publik
Kehidupan individu di lingkungan birokrasi publik seyogyanya
tidak berbeda dengan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat, artinya tuntutan
nilai-nilai moralitas yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat serta
kehidupan berpemerintahan harus berjalan dengan konsisten (good governance).
Tidak perlu seorang individu yang memiliki posisi di birokrasi publik lalu
serta merta harus berperan ambivalen yaitu memiliki double standards
dalam sikap dan perilakunya (moral) yang berbeda, disatu sisi sebagai
manusia yang alim dengan menunjukkan dirinya di tengah-tengah masyarakat
sebagai insan yang pura-pura taat beribadah tapi di sisi yang lain sebagai
koruptor yang ganas dan merampas uang negara yang pengelolaannya dipercayakan
padanya.
Sebenarnya dalam konsepsi dan etik yang terbangun secara
kelembagaan pegawai negeri (PNS, TNI, dan POLRI) dan menjadi komoditas yang
tertuang dalam sumpah pegawai negeri adalah abdi masyarakat!. Itulah
standar etika yang baku bagi komunitas birokrasi publik yaitu di dalam
menjalankan seluruh kewajibannya yang direfleksikan melalui pelayanan publik
harus benar-benar berlaku sebagai abdi masyarakat atau berpihak pada publik,
bukan berpihak pada koceknya. Kesadaran posisi sebagai abdi masyarakat
(pelayan masyarakat) bagi para administrator publik harus dipulihkan dengan cara-cara
yang memadai sehingga mampu mereduksi jumlah para pelaku tindak pidana korupsi
secara bertahap tetapi ada kepastian!.
Implementasi lainnya adalah bagaimana agar birokrasi publik
mampu menjadikan dirinya sebagai pihak yang netral (netralitas birokrasi)
dan tidak dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh lingkungan
politisi yang dipastikan akan mengganggu dalam proses pelayanan publik.
Bagaimana mungkin seorang pegawai negeri akan netral bilamana aturan mainnya
dibuat masih mengandung multitafsir. Tengok saja UU no.43 tahun 1999 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian yang menuntut para “pegawai negeri harus netral dari
pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat” (pasal 3 ayat (2)). Dan “untuk menjamin
netralitas, pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)Pegawai Negeri
dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai” (pasal 3 ayat (3)). Namun
bagaimana bisa netral bila pegawai negeri masih harus masuk bilik suara di dalam
setiap pelaksanaan pemilu? Setidaknya di sini ada ketidaknetralan secara
emosional, dan hal ini akan sangat mempengaruhi pelayanan publik atau
dengan bahasa lain bagaimana mungkin bisa berpihak pada masyarakat bila pegawai
negeri ‘masih’ berpartai?. Karena di dalam praktiknya sulit rasanya
berlaku netral dengan mengesampingkan kepentingan kelompok partai penguasa dari
kepentingan masyarakat luas yang sangat heterogen paham politiknya; sebagaimana
diungkapkan pula oleh hasil penelitian bahwa satu diantara faktor yang
memengaruhi netralitas birokrasi adalah “peraturan perundang-undangan yang
justru merancukan batasan antara domain politik dan administrasi yang
mengakibatkan politisasi birokrasi” (abstraksi ‘netralitas
birokrasi’,2003:iii).
‘Doktrin’ berikutnya yang tidak kalah penting adalah tentang
kesetiaan birokrat dalam birokrasi publik pada masyarakat (publik) ternyata
masih dipertaruhkan, betapa tidak, karena dilema antara kesetiaan (loyalty)
kepada tugas pokoknya yang berhubungan dengan pelayanan publik terkadang harus
tergeser oleh ‘kesetiaan’ pada kepentingan atasan/partai pengusa. Masalah kesetiaan
(kepada publik) inilah yang masih sulit diwujudkan di kalangan para pegawai
negeri khususnya mereka yang memiliki posisi sebagai unsur pimpinan mengingat
di dalam konstelasi organisasinya jelas menunjukkan bahwa administrasi
diposisikan sebagai pelaksana kebijakan publik sedangkan ranah politik bertugas
untuk membuat keputusan politik berupa kebijakan publik. Dilema dalam memilih
yang terbaik antara keberpihakan pada publik dengan kesetiaan pada partai
penguasa telah diperlihatkan dalam rejim Soeharto dimana partai penguasa telah
mampu bertahan dalam tiga dekade karena menerapkan sistem ‘kesetiaan’ dengan
doktrin “mono loyalitas’ kepada partai penguasa. Sikap mental yang telah
terbangun inilah yang meragukan kita, apakah birokrasi masa kini (rejim SBY)
dapat memberi jaminan bahwa mereka akan selalu berpihak pada publik, sementara
aroma nepotisme, kolusi dan korupsi masih saja marak terjadi di berbagai birokrasi
pemerintahan. Disisi lain sebagian besar aparat masih memilih sikap ‘safety
players’, dan sangat langka aparatur pemerintah yang masuk hitungan ‘risk
takers’ untuk berani membongkar/melaporkan perbuatan korupsi sebagai
pelanggaran etika publik dilingkungan instansinya.
Dikotomi kepentingan publik dan privat di lingkungan
birokrasi publik.
Sebuah dilema dipastikan akan menghinggapi sikap dan
perilaku para ‘abdi masyarakat’ masa kini bilamana sistem untuk membangun
kearah keberpihakan pada masyarakat (publik) tidak memiliki keajegan dalam
aspek legalitas.
Suatu penelitian yang menarik yang dilakukan oleh JICA dalam
mencermati kualitas pelayanan publik di beberapa kota terpilih ternyata
menunjukkan masih didapati adanya pengaruh budaya patrimonial, feodalisme dan
ketidaknetralan birokrasi; pengaruh budaya patrimonial jelas menunjukkan bahwa
kalangan birokrat masih menyulitkan dirinya untuk mengenali antara mana ranah
publik dan ranah privat. Contoh konkrit adalah masih berlangsungnya praktik
gratifikasi pada pasca pelayanan (uang tanda terima kasih, uang rokok, uang
administrasi dsb) terhadap para pemberi jasa layanan publik dalam berbagai
permohonan perijinan; juga dilingkungan dunia pendidikan yang masih ditunjukkan
dengan pemberian ‘hadiah’ dari orang tua murid/siswa kepada para guru yang
telah ‘berjasa’ mendidik anak-anak didiknya. Demikian halnya di lingkungan
pimpinan birokrasi publik, masih terdapat mereka yang menerima upeti dari
bawahannya dengan motivasi yang beragam semisal karena bawahan ingin dipromosikan,
bawahan ingin dipindahkan ke unit kerja lain yang disukainya, atau bawahan yang
ingin mendapat fasilitas tertentu dan semacamnya; “seseorang ‘yang dipertuan’
yang menerima upeti dari bawahan dan menggunakannya untuk pribadi secara
tradisional, tidak melakukan korupsi menurut ukuran tradisional”...sebab justru
dalam keadaan dimana tidak ada pemisahan kepentingan keuangan pribadi dan
negara dari seorang pejabat atau penguasa, menyebabkan timbulnya
konsepsi-konsepsi anti korupsi dan harus adanya pemisahan antara keuangan
pribadi dan keuangan publik” (Onghokham dalam Lubis, 1985:117).
Praktik patrimonial yang dicontohkan dimuka nampaknya tidak
dipungkiri memang masih mengemuka di lingkungan birokrasi Pemerintahan,
terutama di Daerah-daerah atau yang jauh dari pantauan Penegak hukum.
Rekomendasi
Penegakkan Etika publik dalam republik menurut budaya
organisasi yang masih tradisional dan memungkinkan adalah dimulai dari
lingkungan birokrasi sendiri ; sistem nilai yang perlu dijunjung tinggi oleh
birokrasi publik adalah perlunya menghargai secara proporsional terhadap
pentingnya persamaan, keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas
serta mengutamakan kepuasan publik.
Birokrasi publik sudah seharusnya memberi prioritas pada
‘akses’ generasi baru di birokrasi yang memiliki pengalaman dan pendidikan yang
kini ‘dibesarkan’ di era reformasi ini dengan memberi tempat bagi kreativitas
dan inovasi serta perubahan mind set dalam pemberian layanan
publik. Pembaharuan nampaknya sulit dilakukan oleh komponen diluar birokrasi
mengingat belenggu kekuasaan politisasi birokrasi oleh kekuatan partai penguasa
sepanjang sejarah penyelenggaraan pemerintahan sangat mendominasi di Republik
ini, kecuali melalui people power yang sangat beresiko karena dapat
menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara (vide kasus
Tunisia, Sudan, Mesir dan Aljazair ?).
Beberapa pertimbangan teknis yang perlu dilakukan
diantaranya:
Institusi pelayanan publik
- Sudah
saatnya pejabat publik beroreintasi pada pelaksanaan jasa layanan publik
yang memuaskan (customer satisfaction) dan bukan untuk memuaskan
para atasannya/pemutus kebijakan semisal para Menteri, para Gubernur,
Bupati dan Walikota (political appointees) hanya karena alasan para
atasan inilah yang telah menunjuk dan mengangkat dirinya sebagai pejabat.
- Sudah
saatnya jabatan publik di pemerintahan pusat seperti Kementrian dan
Lembaga Pemerintah Non Departemen memertimbangkan untuk dipimpin oleh para
profesional ketimbang para politisi yang hanya akan melahirkan konflik
kepentingan, yaitu antara tugas layanan publik dengan loyalitas pada
partainya.
- Seleksi
pimpinan birokrasi publik, terutama di Daerah-daerah harus berbasis
kompetensi dengan mempertimbangkan syarat kompetensi jabatan melalui
fit and proper test lembaga jasa independen; bilamana tidak
terdapat potensi SDM aparatur yang memenuhi syarat jabatan, hendaknya
tidak menutup peluang bagi masuknya kalangan profesional dengan sistem
kontrak karya.
- Institusi
palayanan publik harus memiliki sasaran mutu manajemen sebagai jaminan
bagi publik bahwa institusi punya semangat penetapan standar kinerja
pelayanan publik yang terukur (ISO 9001:2000, ISO 9001:2008 dst)
- Lembaga
asessor yang memantau kinerja lembaga layanan publik perlu dibentuk
yang attached pada institusi publik yang bersangkutan; hal ini
untuk mengembalikan pencitraan kepercayaan publik pada institusi pemberi
jasa layanan publik yang masih memprihatinkan.
Institusi sektor privat
- ‘Persaingan’
dengan institusi layanan publik harus terus diperlihatkan oleh sektor
privat dalam pemberian jasa layanan ‘publik’ yang bertujuan
menyenangkan/memuaskan pelanggan sebagai bagian untuk memotivasi mitranya
di lingkungan institusi publik agar kreatif, penuh inovasi dan tidak
diperbudak oleh aturan yang kaku di dalam memberikan layanan publiknya.
- Sektor
privat mampu memberikan pembelajaran bagi sektor publik dalam menghargai
para karyawan dengan menerapkan reward and punisment yang konsisten
mengingat disektor publik masih sangat langka diberikannya penghargaan
bagi yang berprestasi dan bagi yang kreatif, demikian halnya bagi yang
berkinerja buruk pun tidak memeroleh punishment yang memadai.
- Sektor
privat seyogyanya tidak melakukan pembiaran akan tetapi mampu
mengembangkan pengawasan publik secara intensif kepada instansi publik
melalui forum publik; saran ini berangkat dari pertimbangan karena
kelompok inilah yang paling dekat dengan jasa layanan untuk berbagai macam
perijinan dan perpajakan.
Lembaga swadaya kemasyarakatan
- Keterlibatan
perwakilan masyarakat di dalam memantau implementasi etika publik terhadap
seluruh bentuk layanan jasa dan barang publik dapat dimintakan ke
institusi publiknya untuk dibuka melalui ruang publik seperti dilakukannya
‘talk shows’ melalui media yang tersedia atau ‘open house’
secara berkala oleh para Kepala Daerah sebagai jalan yang efektif
dibandingkan dengan berdemo yang hanya akan mengganggu kelancaran pengguna
jalan.
- Keterlibatan
perwakilan masyarakat didalam setiap perumusan kebijakan perencanaan
pembangunan (Musrenbang) perlu memiliki proporsi yang signifikan,
agar setiap keputusan/kebijakan publik atau kegiatan pemerintahan memiliki
kesungguhan berpihak pada masyarakat dan bukan seperti selama ini
lebih menonjolkan keberpihakan pada aparatur.
- Peranan
LSM pemerhati pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, politik,
lingkungan, keuangan, korupsi dsb) seyogyanya memperkaya kekuatan SDMnya
dengan kualifikasi kepakaran sesuai disiplin bidang tugasnya; hal ini
dalam rangka mempertajam fungsi pengendalian dan pengawasan pada sektor
publik (sebagai bentuk check and balances).
Kesimpulan
Menegakkan etika publik dalam kebijakan publik sejatinya
dapat dilakukan dengan mudah oleh institusi publik seandainya mereka mau
‘belajar’ dari sektor privat yang relatif mampu melakukannya (layanan
jasa/barang) dengan berstandar karena mengedepankan standar etika kesenangan
atau kepuasan pelanggan (publik).
Kebijakan publik yang berhubungan pelayanan publik seperti
untuk perijinan, permohonan akta, dan layanan administrasi kependudukan sudah
saatnya didesentralisasikan (dipencarkan) kepada satuan unit kerja yang
berhadapan langsung dengan masyarakat ditingkat grass roots
sehingga etika publik tentang mudah, murah, cepat, dan terjangkau tidak hanya
merupakan bahasa basa-basi.
Jabatan publik di birokrasi publik harus berbasis kompetensi
yang dilakukan melalui uji kompetensi (fit and proper test) oleh lembaga
jasa independen serta tidak menutup diri terhadap kemungkinan masuknya kalangan
profesional yang dipastikan memiliki keunggulan kinerja dalam jabatan publik
dengan sistem kontrak karya. Etika publik berupa kepastian standar kualitas SDM
aparatur harus dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan publik.
Birokrasi publik seyogyanya tidak asyik sendiri disibukkan
dengan penataan struktur organisasi publik yang tambun dan inefisien karena
hanya alasan mengikuti suatu Peraturan Pemerintah tanpa memerhitungkan
kepemilikan sumberdaya yang terbatas; etika publik berupa efisiensi dan
efektivitas sudah saatnya menjadi komitmen untuk direalisasikan.
SUMBER REFERENSI :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar